Selasa, 30 November 2010

THE OLD BANK INDONESIA BANDUNG REGIONAL OFFICE BUILDING (2)

OTHER FUNCTIONAL AND DECORATIVE OBJECT

Examining in further detail the interior of the building, one can also note that the locks. the door handles and other functional interior objects are still in the original form and they reflect the state of industrial arts at the time. The turnkeys are of the Kero mark, a well known key marker whose product are commonly found in major building of that time.

Stained glass ornament at the front entrance of the building



Detail on the door locks which are still original



The brass door handles attached to the entrance door and other doors in the interior are made of steel


Is a photograph of the plaque still intact indicating that the architects were fermont-cuypers, the brass plaque indicating the name of the architects has been discreetly hidden an not obviously seen at first sight by some one entering the building.

Senin, 29 November 2010

THE OLD BANK INDONESIA BANDUNG REGIONAL OFFICE BUILDING (1)

PRESERVING an ARCHITECTURAL HERITAGE



Photograph of the left side of the Building



Does not feel in November 2010 was even 18 years I worked at Bank Indonesia, this work is my love, my love with her work, I like the environment and I am very happy with the building.
7 years I worked in Human Resources, and the rest is already 11 years old I became Secretary.
Fun job, met a lot of new people and establishing a professional work relationship.
Okay now I'll share a little about my office building which includes the Old Building protected authenticity.



As a National asset Bank Indonesia is duty bound to preserve this architectural heritage for which is fully responsible for its maintenace , preservation and use, and to share this national heritage with the public.





front entrance of the building


the step on the main entrance to the building with decorative balls shaped on ornaments made of andesit stones ispired by Victorian style. The Ornamen on the bottom of the pilars of the front entrance are Doric style.
Window near the ceiling with stained glss on the window. Unfoetunately no record of t
he foto of the original in presently in existence
The Top of the main entrance with trianngular ceiling in Doric style with top ornamen in the middle an on each side of the triangle.






Heavy iron grill on the window is still the original
Additional decorative ornament from cement which was added to the building at a later time


A Night View of the Main Entrance

Selasa, 23 November 2010

MOJANG BANDUNG (2)




Pelecehan perempuan secara terbuka dimulai pada masa Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff ketika Willem Schenk seorang pemilik perkebunan kina melakukan pengerahan perempuan cantik Indo-Belanda dari perkebunan Kina Pasirmalang di Selatan Bandung untuk menyemarakan dan melayani para peserta Kongres Pengusaha Perkebunan Gula di Bandung (1896).
Demikian suksesnya peran para perempuan Bandung waktu itu sehingga para peserta kongres memberi Bandung julukan De Bloem der Indiche Bergsteden (Bunga Pegunungan Hindia Belanda).
Kejadian memalukan yang serupa terjadi lagi dimasa setelah kemerdekaan, pada sebuah peristiwa besar yang mengharumkan Bandung ke pentas International yaitu saat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Panitia secara sembunyi-sembunyi dan terselubung ternyata menyiapkan layanan perempuan untuk para anggota delegasi. Layanan panitia yang sangat dicela dan disayangkan oleh banyak pihak. Seorang pekerja seks komersial (PSK) kelas atas yang cukup punya nama di Bandung saat itu sempat harus dirawat di rumah sakit setelah melayani peserta konferensi.
Penuturan Haryoto Kunto ('Nyi Dampi, De Bloem Van Kebon kalapa"; Matra No.82; Yayasan Bapora;Jakarta;Mei 1993) tentang latar belakang, kemunculan Indo Belanda di Perkebunan milik Belanda di sekitar Bandung dan kemunculan bursa seks di Bandung cukup menarik untuk simak.
Sejak berlakunya cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda antara th 1830-1870, perkembangan perkebunan diwilayah sekitar Bandung berkembang dengan sangat pesat baik dari segi luas dan jenis tanaman. Orang Belanda saat itu menurut peraturan tidak boleh membawa keluarganya dari negri Belanda. Pekerja perkebunan yang bekerja keras dari hari kehari tak terelakan lagi merasa jenuh dan diliputi kerinduan terhadap isteri dan anak yang ditinggal jauh di Belanda. Akhirnya, terjadi hubungan dengan pekerja lokal atau warga sekitar perkebunan dengan status Nyai-Nyai (tanpa perkawinan, hidup bersama). Belasan tahun kemudian terlihat banyak remaja berkulit lebih putih, berhidung mancung, berwajah cantik dan tampan, kemudian dikenal sebagai Indo Belanda. Fenomena ini sebenarnya juga terjadi di perkotaan, tetapi karena penduduk kota cukup banyak, kehadiran mereka tidak terlalu menarik perhatian.

MOJANG BANDUNG (1)


sumber artikel :BANDUNG, Kilas Peristiwa di mata Filatelis, Sebuah Wisata Sejarah (Sudarsono Katam Kartodiwirio)


Priangan dan Kota Bandung sejak tempo doeloe terkenal dengan kecantikan, kejelitaan, kemolekan dan keramahan para perempuannya yang biasa disebut Mojang Priangan dan Mojang Bandung, padahal istilah Mojang sebenarnya adalah sebutan untuk para perempuan yang belum menikah (gadis).
Mojang Bandung tempo doeloe berpakaian kain batik dan kebaya serta bersandal kayu dengan "tumit" tinggi berukir ragam hias yang dicat dengan warna mencolok.
Sandal kayu beragam hias ini dinamai Kelom Geulis. Jika berjalan-jalan tidak lupa memakai payung kertas buatan Tasikmalaya yang biasa disebut Payung Geulis. Sekarang ini Kelom Geulis sudah dapat dikatakan kehilangan fungsinya sebagai alas kaki, tetapi sudah lebih menjurus kepada karya seni barang hiasan atau cenderamata belaka, sedangkan payung kertas dengan cat warna warni sekarang ini hanya merupakan alat pelengkap dan atau persyaratan acara ceremonial saja.
Selain terkenal cantik, Mojang Bandung pun pintar dan pada masa itu mereka sudah berpandangan jauh ke depan. Para Mojang kelompok ini pada umumnya sempat menikmati pendidikan di Sekolah untuk warga Belanda karena status keningratan atau sosial dan jabatan para orang tuanya.
Demikian terkenalnya para Mojang Bandung, sampai-sampai ada anjuran bagi para pelancong yang berniat mengunjungi Bandung, yaitu : The Traveler to the East, Whether tourist or Businessman, may on his voyage, or even before, have given the advice : "Dont forget a stay at Bandoeng (Official Yearbook-K.P.M.1937-1938) dan Don't come to Bandoeng if you left a wife at home (Mooi Bandoeng, Juli 1937)
Anjuran tersebut selain berkaitan dengan keindahan dan hawa sejuk alam sekitar Kota Bandung, Tidak Pelak lagi ada kaitannya dengan kecantikan, kejelitaan dan kemolekan para Mojang Bandung. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa sampai sekarang nama kota Bandung indentik dengan sesuatu yang berkonotasi negatif yang berkembang dan tertanam dibenak para lelaki. Menyakitkan, tetapi itu memang sebuah kenyataan yang tak terpungkiri.

Sabtu, 20 November 2010

MINGGU PAGI DI JL DAGO






Bosan dengan acara televisi, atau olah raga yang itu-itu juga ? Bagi kamu warga Kota Bandung sesekali datanglah ke Jl. Dago, di Jalan Tua yang banyak menyimpan cerita tersebut kamu akan menemukan suasana olahraga dan hiburan yang menyenangkan.
Setiap minggu mulai pukul 06.00 sampai 10.00 WIB ruas jalan dago tertutup untuk semua jenis kendaraan, disana kita bisa bebas berjalan sambil berwisata, 'DAGO CAR FREE DAY"
Diantaranya ada kelompok musik yang tergabung dalam DAMAS (Daya Mahasiswa Sunda) bekerja sama dengan hotel Geulis dan PHRI (persatuan Hotel dan Restorant Indonesia) bertujuan melestarikan Budaya Sunda, selalu menggelar pertunjukan tradisional yang sangat menarik. Panggung digelar di pinggir jalan persis depan hotel Geulis, Suasana terjalin sangat akrab antara kelompok seniman dan penonton , karena penonton tidak dilarang menikmati pertunjukan dengan berdiri atau duduk kurang dari 2 meter, keunikan lain dari kelompok seniman ini adalah selalu melibatkan penonton untuk ikut partisipasi aktif dalam setiap pertunjukannya.
Tidak mau ketinggalan Etnik Galeri pun turut memeriahkan Jalan Dago dengan tujuannya tak lain adalah berpromosi memperkenalkan produk Etnik Galeri, membagi-bagikan brosur dan kartu nama, selain itu EG melayani penjualan langsung dengan diskon menarik.
Selama ini respon pengunjung sangat bagus, Di Dago Car Free Day ini pula aku bertemu dan berkenalan dengan beberapa orang yang tertarik dengan produk EG, pada akhirnya perkenalan berlanjut dengan terjalinnya hubungan silaturahmi yang berkelanjutan. Allhamdulillah.

Rabu, 17 November 2010

Lilin Romantis

Suasana di Salah Satu Sudut Etnik Galeri Bandung


Di Bandung banyak banget cafe rumahan dengan nuansa etnik, makanan yang disajikan beragam ada yang hanya sekedar kopi dan camilan ada pula yang menyajikan makanan lengkap dari mulai ala sunda , eropa dan China.
Ada persamaan bila aku amati baik cafe rumahan semisalnya cafe Halaman atau pun Cafe Resto seperti Siera atau Valley yaitu suasana yang dibangun di ciptakan Romantis.
Suasana ini didukung oleh penerangan lilin sederhana yang cantik dan temaram, sehingga kalau makan berdua sama si dia di jamin bakalan sahduuuu merayu deh.....hehehe...!!!
Biasanya lampu cantik itu di letakan di atas meja, disajikan dalam gelas kaca, api nya selalu tenang didalam gelas.
Karena menggunakan minyak goreng, maka lampu minyak ini tidak berbau dan tidak beresiko menimbulkan kebakaran.
Untuk membuatnya mudah banget, kita bisa gunakan bahan-bahan yang ada disekitar kita, yuk kita mulai :

Bahan-bahannya :

1. Alumunium bekas tutup minuman botol
2. Minyak Goreng
3. Benang Kasur (untuk sumbu)
4. Tutup Botol Gabus
5. Gelas Kaca
6. Cutter
7. Palu
8. Paku
9. Gunting



Caranya Ambil Tutup botol gabus iris , sesuaikan tebalnya dengan tutup minuman botol




Lubangi tengah-tengahnya tutup botol gabus dan tutup minuman botol satukan dengan menggunakan tali kasur yang berfungsi untuk sumbu



Isi gelas dengan air setengahnya kemudian tuangi minyak goreng, miyak akan berada di atas

Apungkan perlahan-lahan sumbu yang telah kita buat ke atas gelas minyak.



Jadi deh...

Sabtu, 06 November 2010

RUMAH ADAT BATAK TOBA




Sejak tanggal 31 Oktober 2010 saya didetasir ke Kantor di Pematang Siantar, Sumatra Utara, ternyata kotanya sangat indah, asri dan sejuk. Pohon-pohon besar masih banyak ditemui di area terbuka kota. Tidak ada kemacetan disana, yang ada adalah kota yanag benar-benar nyaman.


Rumah Adat Batak Toba (Raja Sidabutar)


Berhubung pada hari Sabtu libur, maka kesempatan itu tidak kusia-sia kan, saya ingin melihat rumah adat batak, terutama yang ada di Toba dan Samosir, dari Pematang Siantar ke Parapat (Toba) ditempuh dalam waktu 1 jam saja dan menyeberang ke Pulau Samosir dengan menggunakan kapal Ferry hanya butuh waktu 45 menit. Yang saya lihat disana Luar biasa indah. Ini saya coba tampilkan foto rumah adat batak Toba yang ada di Pulau Samosir


Rumah Bolon


Rumah Adat Batak Toba disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah.




Salah Satu Jenis Corak Hiasan Dinding



Salah satu jenis corak hiasan dinding


Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk. Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja.


Foto-foto tersebut diambil di Objek Wisata Budaya SiGale-Gale di Pulau Samosir, Si Gale-gale adalah nama sebuah boneka kayu yang bisa digerakkan untuk menari. Bentuknya unik dengan pakaian tradisional batak melekat di badannya. Jika sesekali berkunjung ke pulau Samosir, jangan lupa untuk menyaksikan kehebatannya mengolah tubuh.